Rabu, 22 Agustus 2018

Bagaimana mendongkrak keterwakilan perempuan di DPR?

Related image

jasa buat website caleg - Memasuki awal 2018, diskusi tentang penentuan umum (pemilu) Indonesia yang diselenggarakan tahun kedepan mulai mengemuka. Tidak hanya rumor capres, tidak kalah terpenting ialah calon-calon legislator yang bisa menjadi representasi rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat, serta keterwakilan wanita dalam instansi itu.

Keterwakilan wanita di instansi legislatif bukan sekedar terpenting dari segi perimbangan pada lelaki serta wanita. Populasi Indonesia separuhnya sejenis kelamin wanita. Akan tetapi lebih dari itu, kedatangan anggota parlemen wanita diinginkan dapat jamin kebutuhan golongan wanita jadi salah satunya prioritas kebijakan, salah satunya berkaitan dengan rumor pengentasan kemiskinan, pemerataan pendidikan, serta service kesehatan.

Angka keterwakilan wanita di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) selalu tunjukkan penambahan dari tahun ke tahun. Waktu pemilu pertama-tama diselenggarakan pada 1955, jumlahnya kursi wanita cuma 5,06%, serta angka ini selalu makin bertambah dengan setahap sampai sampai 11,4% pada 1997 (KPU 2014).

Setelah rezim Orde Baru, beberapa reformasi hukum berkaitan dengan pemilu legislatif memperkenalkan skema kuota gender yang mempunyai tujuan buka kesempatan semakin besar buat wanita untuk dipilih.

Kuota gender belumlah efektif
Akan tetapi, lihat pengalaman tiga siklus pemilu yaitu 2004, 2009, serta 2014, kuota gender yang mengharuskan partai untuk tempatkan wanita sekurang-kurangnya 30 % di daftar calon masih (DCT) belumlah mengangkat keterpilihan wanita dengan berarti.

Keterwakilan wanita di DPR terpenting. Reuters/Beawiharta
Pada 2004, wanita cuma sukses kuasai 11,24% kursi di DPR. Pada pemilu lima tahun lalu banyaknya naik jadi 18,21%. Sesaat pada 2014 keterwakilan wanita malah tipis jadi 17%.

Pada umumnya, jumlahnya calon legislatif (caleg) wanita dari tujuh partai yang berkompetisi di tiga pemilu legislatif selalu bertambah. Akan tetapi kenapa jumlahnya wanita yang dipilih tidak dapat bertambah dengan optimal?

Caleg wanita nomer urut 1
Dalam bukunya yang membahas rekruitmen politik Pippa Norris serta Ronald Inglehart tawarkan tiga tingkat analisa: aspek sistematik, aspek partai, serta individu calon legislatif.

Undang-Undang Pemilu, skema partai, serta skema hukum dalam suatu negara termasuk juga dalam kelompok aspek sistematik. Sesaat aspek parpol mencakup ideologi serta ketentuan internal partai dalam mencalonkan wanita menjadi anggota legislatif.

Aspek paling akhir berkaitan dengan segi motivasi serta sumber daya individu orang yang bisa menjadi caleg.

Dalam tulisan ini, analisa saya akan konsentrasi pada aspek parpol dalam menominasikan caleg wanita. Perihal yang dapat diukur ialah trend peletakan caleg wanita di nomer urut 1 serta tingkat keterpilihan caleg wanita yang ada di nomer urut paling atas.

Analisa statistik dari data hasil pemilu tunjukkan, sebagian besar caleg yang sukses melenggang ke Senayan ialah mereka yang dinominasikan pada nomer urut satu.

Grafik berikut ini tunjukkan jika nomer urut begitu memastikan keterpilihan seseorang caleg. Walau demikian, pantas juga diamati jika kesempatan untuk dipilih nomer urut 4 dan sebagainya nyatanya bertambah 10 kali lipat dari 1,6% pada 2004 jadi 16,4% pada pemilu 2014.

Selain itu, keterpilihan caleg nomer 1 selalu alami penurunan dari 73,6% pada 2004 jadi 62,1% pada 2014. Beberapa aspek penjelas dari trend ini ialah mulai diberlakukannya skema pemilu yang terbuka (open-list) pada pemilu 2014. Dalam skema ini, kalah-menangnya caleg semata-mata dipastikan oleh pencapaian nada paling banyak. Skema penentuan yang seperti ini memberi kesempatan untuk caleg di nomer urut besar dapat dipilih, serta trennya selalu naik.

0 komentar:

Posting Komentar